Akademik

MANAJEMEN PENGOLAAN MADRASAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Dalam Mata Kuliah Manajemen  Pendidikan Islam
 Yang Diampu Oleh Dr.H.Hasbi Indra,M.A.
Oleh : Edi Suwanto

A.    Pendahuluan
Madrasah, sebagaimana tertuang dalam  UU No.22 tahun 1999 ( Bab IV pasal 7 Tentang Otonomi Daerah, menegaskan tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Kewenangan pemerintah pusat terdapat pada beberapa bidang, yaitu : pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiscal, dan agama.[1] dan pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional . Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan dapat dipehcahkan dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi.Selain manfaat bagi pesaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persainagn global.maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangakan dan meningkatan kualitas sumberdaya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, insentif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Perbincangan tentang madrasah sesungguhnya sudah banyak sekali dilakukan di berbagai tempat dan kesempatan berbeda-beda, tidak terkecuali menyangkut aspek manajemennya. Pengamatan serta analisis tajam telah banyak dihasilkan. Begitu pula pikiran-pikiran cerdas untuk membangun konsep dan rancangan pengembangan madrasah sudah banyak dipublikasikan. Madrasah diyakini menjadi lembaga pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik pada ranah yang lebih komprehensif, meliputi aspek-aspek intelektual, moral, spiritual dan ketrampilan secara padu. Madrasah diyakini mampu mengintegrasikan kematangan religius dan keahlian ilmu modern kepada peserta didik sekaligus. Itulah yang sesungguhnya menjadikan orang-orang yang memahami dunia madrasah menjadi begitu gigih memperjuangkan eksistensi madrasah. Selain itu, para peminat lembaga pendidikan madrasah juga didorong oleh nilai-nilai idealisme. Semestinya madrasah mampu menampilkan diri sebagai representasi ajaran Islam yang agung, indah dan sempurna. Akan tetapi, pada kenyataannya, madrasah masih sangat jauh dari idealisme itu. Jauh panggang dari api.
Konsep-konsep idial Islam, seperti suasana kebersamaan, kerja keras, disiplin, optimisme yang menjauhkan dari sifat putus asa, mudah menyerah, selalu menjaga kebersihan baik lahir maupun batin, dan seterusnya, ternyata belum terwujud dalam aktivitas madrasah.
Sebagian besar madrasah masih diliputi oleh suasana dan semangat tradisional, seperti manajemen “seadanya”, kurang disiplin, bahkan juga (maaf) tampak kurang bersih, menerima apa adanya dan seterusnya. Akibatnya, madrasah tidak menghasilkan citra dan out-put sebagaimana yang diharapkan sebagai refresentasi atau personifikasi ajaran Islam itu. Barangkali, fenomena seperti itulah yang kemudian mendorong berbagai forum madrasah tidak henti-hentinya memperbincangkan madrasah. Madrasah dengan sejuta masalahnya tetap menarik untuk diperbincangkan.
Adanya standardisasi di berbagai aspek tersebut, menuntut adanya perbaikan-perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, agar mampu menyesuaikan dengan kebijakan-kebijakan baru dunia pendidikan yang semakin hari terus mengalami perbaikan dan perubahan. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah, wajib secara kreatif selalu menyesuaikan dengan kebijakan-kebijakan baru, tuntutan-tuntutan baru, serta wacana-wacana baru yang terus berkembang sebagai konsekuensi dari sebuah perkembangan.
Dalam konteks ini, eksentensi madrasah harus dilihat dalam perspektif yang objektif sebagai bagian  dari system pendidikan nasional yang secara kualitas masih rendah dan memerlukan pembinaan yang berkesinambungan untuk memposisikan dirinya seimbang dengan kualitas sekolah-sekolah yang berada dibawah naungan Depdiknas. Persoalan yang paling subyektif dalam kerangka melihat status madrasah ke depan yang terkait otonomi daerah dan pendidikan adalah Sebagai berikut :
1.      Kehadiran madrasah secara historis dalam masyarakat.
Madrasah telah muncul dan berkembang dalam masyarakat sebelum Indonesia merdeka, Kehadirannya merupakan tuntutan terhadap kebutuhan masyarakat bagi layanan pendidikan yang mencangkup penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pendidikan keagamaan. Keseimbangan antara dan dimensi tersebut (penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pendidikan agama), sebenarnya masih relevan dengan tuntutan masyarakat sekarang dan yang akan datang.[2]
2.      Pengakuan secara de facto dan jure
Secara de Facto eksitensi madrasah di tangan masyarakat telah mendapat pengakuan, sehingga makna kehadiranya sangat dibutuhkan. Namun, secara de jure madrasah diakui  sebagai bagian dari system pendidikan nasioanal secara tegas mendapat pengakuaan setelah Undang-Undang Sistem pendidikan Nasioanl(UUSPN) No.2 Tahun 1989 diratifikasi.
3.      Persepsi tentang proporsionalitas dan politik penyelenggaraan pendidikan
Persepsi tentang pendidikan berada dalam satu atap dan Depdiknas dipandang sebagai lembaga paling otoritatif terhadap penyelenggara pendidikan, dianggapi secara negative oleh sebagian kaum muslim, dengan anggapan bahwa integrasi madrasah (pendidikan agama) dalam satu wadah akan mereduksi penyenggaraan pendidikan agama.[3]
B.     Pengertian Manajemen Pengolaan Madrasah
Dari segi bahasa manajemen berasal dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan langsung dari kata management yang berarti pengelolaan, ketata laksanaan, atau tata pimpinan. Sementara dalam kamus iggris Indonesia karangan management berasal dari akar kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola, dan memperlakukan. [4]
Ramayulis (2008:362) menyatakan bahwa pengertian yang sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan). Kata ini merupakan derivasi dari kata dabbara  mengatur) yang banyak terdapat dalam Al-Quran seperti firman Allah SWT :
ãÎn/yムtøBF{$# šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# n<Î) ÇÚöF{$# ¢OèO ßlã÷ètƒ Ïmøs9Î) Îû 5Qöqtƒ tb%x. ÿ¼çnâ#yø)ÏB y#ø9r& 7puZy $£JÏiB tbrãès? ÇÎÈ  
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi/pengolaan mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1.      merencanakan (planning),
2.      mengorganisasikan (organizing),
3.      mengarahkan (directing),
4.      mengkoordinasikan (coordinating),
5.      mengawasi (controlling), dan
6.      mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Madrasah dan pengelolaannya berasal dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat, sebagai cerminan kemandirian madrasah. Kemandirian tersebut sejalan dengan perubahan paradigma pendidikan yang diharapkan menciptakan kemandirian dalam pengelolaannya. Sebagai bagian itegral dari usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional, pengelolaan madrasah setidaknya diarahkan pada tiga kepentingan pokok yang harus diakomodasi yaitu;
1.      Memberikan ruang aspirasi bagi umat Islam secara umum dalam bidang pendidikan,
2.      Memperkukuh keberadaan madrasah ditengah masyarakat, dan
3.      Mengarahkan  madrasah agar merespon  perubahan zaman[5]
Ketiga kepentingan dimaksudkan untuk mempertegas komitmen madrasah dalam keterlibatannya mempersipakan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pembangunan.
Pengelolaan madrasah menonjolkan ciri khas sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi pada kepentingan keagamaan dan kepentingan kewarganegaraan dengan tetap mengacu kepada UUSPN No. 20 tahun 2003. Madrasah diarahkan untuk menjadi wadah  pembinaan ruh atau praktik hidup berdasarkan nilai-nilai Islam. Selain itu Masyhuri dkk (2005) menegaskan bahwa madrasah melakukan pembinaan kepada peserta didik menjadi cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif. Hal tersebut berarti madrasah menjadi wadah untuk membina peserta didik yang memiliki keunggulan dan daya saing yang tinggi untuk menyonsong masa depan yang lebih baik.
Mengingat prospek tersebut di atas, madrasah harus melakukan pembenahan dalam pengelolaanya baik yang berkaitan dengan manajemen madrasah, sumber daya pengeloa pendidikan, pendanaan, evaluasi, proses dan sebagainya. Pembenahan madrasah dapat mencakup beberapa ruang lingkup diantaranya adalah pada aspek manajemen sekolah termasuk pembinaan dan pengembangan sumber daya guru dan ketenagaan, kegiatan pembelajaran, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah, membangun tiem work dan menciptakan kepemimpinan yang yang demokratis dan profesional.
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras" yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari kitab Taurat’.
Kata "madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang sama: "tempat mempelajari atau tempat belajar".
Dan di Indonesia merupakan sekolah yang lebih khususs mempelajari agama islam atau dalam Shorther Encyclopedia of Islam diartikan : “Name of an Institution
Where the Islamic science are studied”(Gibb,1961:300). Nama dari suatu
lembaga dimana ilmu-ilmu keislaman diajarkanJika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola. .
Sedangkan di dunia Arab istilah madrasah berlaku untuk semua sekolah secara umum. Istilah madrasah dapat kita temukan dari akar kata kerjanya[6]
Dalam Al Qur-an Surat Al Imran ayat 79 Allah berfirman :
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuŠÏ?÷sムª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #YŠ$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrߊ «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhŠÏY»­/u $yJÎ/ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎ/ur óOçFZä. tbqßâôs? ÇÐÒÈ  
Artinya :  Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
 Rabbani ialah orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.
Ditinjau dari dinamikan dan perkembangan , madraah di Indonesia
mengalamai 3 fase perjalanan .[7]
Fase pertama sekitar tahun 1945-1974 lebih menekankan pendidikan
agama, dengan tambahan sedikit materi umum. Fase kedua yaitu fase
diberlakukannya SKB 3 tiga menteri tahun 1975 yang berlangsung sampai
tahun 1990 yang berisi antara lain;
a.       Pengakuan ijazah madrasah disetarakan dengan ijazah umum
b.      Lulusan madrasah dapat melanjutkan pada sekolah umum
c.       Siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umu yang setingkat
Dengan diberlakukannya SKB berarti ;
a.       Eksistensi madrasah menjadi semakin kuat
b.      Pengetahuan umum di madrasah lebih meningkat
c.       Fasilitas fisik dan peralatan lebih disempurnakan
d.      Adanya civil effek terhadap ijazah madrasah
Fase ketiga adalah fase setelah diberlakukannya UU sisdiknas dan
beberapa peraturan pemerintah, yang menjelaskan bahwa madrasah adalah
sekolah yang berciri khas agama islam.
Adapun lembaga keislaman pada masa klasik meliputi ; masjid, kuttab,
madrasah, zawiyyah dan maristan.   Masjid selain berfungsi sebagai
tempat beribadah  juga merupakan tempat belajar, bermusyawarah untuk
menyusun strategi perang, pemberdayaan ekonomi dsb. Fungsi kuttab
lebih specific pada pengajaran baca tulis, sebagiamana tebusan
tawanan badar dengan mengajarkan baca tulis pada kaum muslimin,
madrasah merupakan pendidikan yang bersifat formal yang melibatkan
peran negara, gaji guru, fasilitas sarana prasana dsb. zawiyah
merupakan bagian dari masjid yang dijadikan asrama bagi para sufi
sekaligus merupakan tempat mendalami ilmu agama, maristan dikenal
sebagai model pendidikan yang lebih mengkhusukan pada pengajaran ilmu
kedokteran)[8].
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan". [9]
Para ahli sejarah pendidikan seperti A.L.Tibawi dan Mehdi Nakosteen, mengatakan bahwa madrasah (bahasa Arab) merujuk pada lembaga pendidikan tinggi yang luas di dunia Islam (klasik) pra-modern. Artinya, secara istilah madrasah di masa klasik Islam tidak sama terminologinya dengan madrasah dalam pengertian bahasa Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan Islam menulis kata tersebut secara bervariasi misalnya, schule Nakosteen menerjemahkan madrasah dengan kata university (universitas). la juga menjelaskan bahwa madrasah-madrasah di masa klasik Islam itu didirikan oleh para penguasa Islam ketika itu untuk membebaskan masjid dari beban-beban pendidikan sekuler-sektarian.
 Sebab sebelum ada madrasah, masjid ketika itu memang telah digunakan sebagai lembaga pendidikan umum. Tujuan pendidikan menghendaki adanya aktivitas sehingga menimbulkan hiruk-pikuk, sementara beribadat di dalam masjid menghendaki ketenangan dan kekhusukan beribadah. Itulah sebabnya, kata Nakosteen, pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan agama di dalam masjid hampir-hampir tidak dapat diperoleh titik temu. Maka dicarilah lembaga pendidikan alternatif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum, dengan tetap berpijak pada motif keagamaan. Lembaga itu ialah madrasah.
George Makdisi berpendapat bahwa terjemahan kata "madrasah" dapat disimpulkan dengan tiga perbedaan mendasar yaitu: Pertama, kata universitas, dalam pengertiannya yang paling awal, merujuk pada komunitas atau sekelompok sarjana dan mahasiswa, Kedua; merujuk pada sebuah bangunan tempat kegiatan pendidikan setelah pendidikan dasar (pendidikan tinggi) berlangsung. Ketiga; izin mengajar (ijazah al-tadris, licentia docendi) pada madrasah diberikan oleh syaikh secara personal tanpa kaitan apa-apa dengan pemerintahan.
Erat kaitannya dengan penggunaan istilah '''madrasah" yang menunjuk pada lembaga pendidikan, dalam perkembangannya kemudian istilah "madrasah" juga mempunyai beberapa pengertian di antaranya: aliran, mazhab, kelompok atau golongan filosof dan ahli fikir atau penyelidik tertentu pada metode dan pemikiranyang sama.10 Munculnya pengertian ini seiring dengan perkembangan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang di antaranya menjadi lembaga yang menganut dan mengembangkan pandangan atau aliran dan mazdhab pemikiran (school of thought) tertentu.
Pandangan-pandangan atau aliran-aliran itu sendiri timbul sebagai akibat perkembangan ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan ke berbagai bidang yang saling mengambil pengaruh di kalangan umat Islam, sehingga mereka dan berusaha untuk mengembangkan aliran atau mazhabnya masing-masing, khususnya pada periode Islam klasik. Maka, terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pemikiran, mazhab, atau aliran tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagian besar madrasah yang didirikan pada masa klasik itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang terkenal, misalnya madrasah Safi'iyah, Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah. Hal ini juga berlaku bagi madrasah-madrasah di Indonesia, yang kebanyakan menggunakan nama orang yang mendirikannya atau lembaga yang mendirikannya.
C.       Unsur – Unsur Pokok Pengolaan Madrasyah
Unsur – unsur pokok pengelolaan sekolah, pada hakekatnya tidak ada pedoman yang bersifat tunggal. Artinya, sesuai dengan konsep MBS (Managemen Berbasis Sekolah), unsur-unsur pokok dalam pengelolaan sekolah bisa bervariasi dan berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain. Unsur- unsur pengelolaan sekolah sangat tergantung dari kebijakan yang diterapkan pada sekolah yang bersangkutan. Namun secara garis besar, ada beberapa unsure utama dalam penyelenggaraan pendidikan yakni :
a)      Unsur Pengelolaan Pembelajaran.
Unsur ini mengelola dan me”manage” jalannya pembelajaran berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan.
b)      Unsur pengolaan sarana Prasarana.
Unsur ini mengelola dan me “manage” ketersediaan dan kesiapan sarana prasarana yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan.
c)      Unsur Pengolaan Admministrasi
Unsur ini mengelola dan me “manage” segala urusan keadministrasian yang diperlukan untuk kelancaran jalannya penyelenggaraan pendidikan.
d)     Unsur Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM)
Pengolaan Sumber Daya Manusia (SDM), unsur ini mengelolah dan me”manage”segala urusan yang berhubungan dengan sumber daya manusia yang ada dalam penyelenggaraan pendidikan.
e)      Unsur Pengolaan Kegiatan Kesiswaan
Unsur ini mengelola dan me”Manage”segala urusan yang berhubungan dengan kegiatan kesiswaan.
f)       Unsur Pengelolaan Keuangan dan Sumber Dana Pendidikan
Unsur ini mengelola dan me”manage”segala urusan yang berhubungan dengan kebutuhan anggaran penyelenggara pendidikan.
g)      Unsur Pengelolaan Pembinaan Hubungan dengan masyakat.
Unsur ini mengelola dan me”manage”segala urusan yang berhubungan dengan Pembina hubungan antara sekolah dengan masyarakat.
D.     Pendidikan Sebagai Suatu Sistem
Untuk memudahkan pemahaman mengenai pengembangan kurikulum di madrasah, ada baiknya kita memandang proses pendidikan sebagai suatu sistem.  Inilah yang sering disebut sebagai 'pendekatan sistem dalam pendidikan’. 
Di Indonesia, pendekatan sistem dalam pendidikan ini telah dilakukan sejak tahun 1975 ketika diperkenalkan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).  Inti dari pendekatan ini adalah pengakuan bahwa, dalam suatu sistem, tujuan sistem merupakan faktor pertama dan utama yang akan menentukan komponen-komponen sistem lainnya. 
      Jika diterapkan dalam sistem pendidikan, ini berarti bahwa tujuan pendidikan yang akan dicapai itulah yang akan menentukan bagaimana pencapaian tujuan itu akan dievaluasi, kegiatan apa yang perlu diberikan kepada anak didik agar dia dapat mencapai tujuan pendidikan tersebut, bahan apa yang perlu diberikan dan kapan, alat atau sarana apa yang diperlukan, siapa yang akan mendidiknya, dsb. 
          Dalam pendekatan sistem dikenal istilah supra-sistem, sistem, dan sub-sistem.  Supra sistem adalah sistem yang lebih besar yang melingkupi sistem tersebut; sedangkan sub-sistem adalah sistem yang lebih kecil yang berada di dalam sistem yang bersangkutan. 
             Sebagai contoh, madrasah merupakan suatu sistem yang berada di bawah supra-sistem pendidikan nasional juga menjadi sub system masyarakat.  Dalam hal ini, madrasah juga memiliki sub-sistem yakni kelas-kelas atau bidang-bidang kegiatan lainnya. 
             Hal penting yang harus diperhatikan adalah adanya kaidah bahwa suatu sistem itu akan tetap eksis selama ia memuaskan supra-sistemnya.  Dalam kasus madrasah, ini berarti bahwa suatu madrasah itu akan tetap eksis selama ia dapat memuaskan harapan masyarakat (supra-sistem) nya.  Apabila masyarakat sebagai supra-sistem sudah mulai merasa bahwa suatu madrasah sudah tidak lagi dapat memuaskan harapan mereka, maka madrasah tersebut akan ditinggalkan oleh masyarakat dan akan mati dengan sendirinya.
E.     Konsep Manajemen Berbasis Madrasah
Merupakan pengembangan dari konsep school based management yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelo­laan madrasah dengan memberikan keleluasaan otonomi kepada kepala madrasah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja madrasah yang mencakup guru, siswa, komite madrasah, orang tua siswa, dan masyarakat.
Manajemen Berbasis Madrasah (MBM) mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas pengambilan keputusan dan manajemen dari tingkat nasional pada pihak-pihak terkait dengan madrasah di tingkat lokal (local stakeholder) berdasarkan kebijakan nasional.
MBM memberikan keuntungan secara langsung kepada stakeholders, pemanfaatan sumber daya, efektif dalam pembi­naan siswa, moral guru dan iklim madrasah serta ada perhatian bersama untuk Pengambilan keputusan, pember­da­yaan guru, manajemen madrasah, Perencanaan ulang madrasah dan perubahan Perencanaan.
Madrasah dalam konteks pembangunan bidang pendidikan, menduduki posisie choisw jika dibandingkan dengan sekolah lain. Kecenderungan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola lembaga pendidikan madrasah. Disadari betul bahwa posisi tersebut disebabkan karena ada kesan madrasah tidak memiliki kemmapuan untuk mengembangkan pendidikan, sehingga kualitas out put yang dihasilkan berada dibawah sekolah umum.
Di lingkungan madrasah sudah perlu dilakukan pembinaan  yang berkesinambungan  sehingga dapat meningkatkan mutu  yang berkelanjutan (continuous quality inprovement) karena pembenahan yang dilakukan selama ini terkesan parsial dan tidak berkesinambungan (Mulyasa, 2003).
Madrasah sudah harus mampu mengimplementasikan school based manajemen melalui Manajemen Berbasis Madrasah agar dapat menjadi lembaga pendidikan yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab secara luas dan mandiri.
Manajemen berbasis sekolah (School Based Manajemen) dimana pengelolaan sekolah memiliki ciri diataranya adalah :
1.      Pemberian otonomi luas kepada sekolah,
2.      Tingginya partisipasi masyarakat dan orang tua,
3.      Kepemimpinan yang demokratis dan profesional, dan
4.      Team work yang kompak dan transparant (Mulyasa, 2002).
Pandangan senada dikemukakan oleh Abu Dahoe (2002) bahwa ciri pokok MBS adalah pemberian otonomi yang luas kepada sekolah dan pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sekolah.
Implementasi MBM di lingkup madrasah dalam pengelolaannya menyangkut beberapa aspek yaitu;
a.       Iklim madrasah yang kondusif,
b.      Otonomi madrasah,
c.       Penyiapan tenaga pendidik dan kependidikan yang profesional,
d.      Menciptrakan kepemimpinan madrasah yang demokratis, dan
Revitalisasi partisipasi masyarakat dan orang tua. (Mulyasa, 2003).
Dengan melakukan pembenahan pada aspek tersebut secara utuh, madrasah diharapkan dapat meningkatkan mutu pengelolaan madrasah. Peningkatan mutu pengelolaan akan berimbas pada peningkatan mutu pengelolaan, ketersediaan sumber daya yang berkualitas, meningkatnya prestasi belajar siswa, yang pada akhirnya bermuara pada tingginya tingkat kepercayaan masyarakat kepada madrasah dengan harapan :
1.       Memenuhi standart isi, madrasah yang memnuhi standat isi mencakup ruang lingkup materi dan tingakat kompetensi, meliputi kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, dan kalender pendidikan/ akademik
2.       Menyelenggarakan Proses Pembelajaran Yang Tepat; hal ini bisa lakukan dengan cara menyelenggaran pembelajaran secara ineteraktif, inspiratif, menyenangkan, menantang peserta didik untuk berpartsipasi aktif serta memberikan ruang yang ckup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan sesuai dengan perkembangan fisik serta fisologis peserta didik.
3.       Memenuhi Standart Kompetensi Lulusan; penilaian mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan
4.       Memenuhi standart pendidik dan tenaga kependidikan; pendidik memiliki kualifikasi akademik serta kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rokhani
5.       Memiliki Sarana Dan Prasaran Yang Standart
6.       Menerapakan standart pengelolaan dengen MBM; kemandirian,kemitraan, partisipasi, keterbukaan, akuntabilitas.
7.       Memenuhi Standart Pembiyaan; biaya infestasi, biaya operasional dan biaya yang baik dan benar.
8.       Standart Penilaian Pendidikan
F.     Penutup
Makalah ini telah mencoba menjelaskan bagaimana cara mengelola pelaksanaan madrasah.  Berangkat dari pentingnya madrasah bagi kemajuan dan prestasi madrasah, kelompok empat menyarankan agar pelaku pendidik  memandang pendidikan sebagai suatu sistem yang komponen-komponen di dalamnya saling berkaitan dan disatukan oleh satu tujuan yang sama.  Untuk dapat melaksanakan pengelolaan madrasah di kelolah secara baik dalam rangka peningkatan kualitas madrasah, kepala madrasah harus terlebih dahulu memastikan bahwa visi dan misi yang akan dilaksanakan itu sudah baik dalam arti sesuai dengan aspirasi masyarakat sasaran dan kecenderungan arah perubahan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat di masa depan. 
G.    Kesimpulan
      Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagaiberikut:
1.      Manajeman Pengelolaan madrasah masih memiliki keterbatasan, khususnya dalam penampilan fisik sekolah, ketersediaan sarana dan fasilitas pembelajaran, yang mengakibatkan rendahnya minat masyarakat terhadap madrasah sehingga jumlah siswa belum memadai, serta rendahnya kualitas output madrasah.
2.      Langkah strategis yang ditempuh pihak pengelolah madarsah dalam meningkatkan mutu dan kualitas output madrasah terdiri dari pelaskanan
a.       Program peningkatan mutu manajemen yang berciri otonomi dan partisipatif.
b.      Program peningkatan kegiatan pembelajaran dengan meningkatkan kulaitas dan kompotensi serta wawasan guru melalui supervisi, dan KKG, MGMP dan pelatiahan sejenisnya.
c.       Program peningkatan mutu sarana dan fasilitas pendukung pembelajaran dengan melibatkan stakes holders pendidikan diantaranya adalah pemerintah dan masyarakat.
3.      Pihak madrasah dan pemerintah perlu berupaya melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar terlibat dalam pengelolaan madrasah.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Abu-Duhou, Ibtisam. 2002. School Based Management (Manajemen Berbasis Sekolah). Terjemahan oleh  Noryamin dkk. Jakarta: Logos
2.      Bafadal, Ibrahim. 2002, Peluang  dan Tantangan Manajemen Berbasis Sekolah.
3.      Dirjen Dikdasmen. 2001. Masyhuri, Siti Sakdiyah, dkk., 2005. Profil Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam Depag RI.
4.      Mulyasa, E., 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya., 2003.
5.      Manajemen Berbasis Madrasah. Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam Depag RI.
6.      Dr. Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, PT Bina Aksara, 1988, Jakarta, hal.6
7.      Drs. Syafaruddin, M.Pd, Manajemen lembaga pendidikan Islam, Cetakan I, Ciputat Press,Ciputat 2005, hal 41



[1] Restu Agung, Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, (Jakarta : tp., 1999)
[2] Maksum,Madrasah sejarah dan perkembanganya, (Jakarta:Logos,1999)h.88
[3] Darmuin, Prospek Pendidikan Islam di Indonesia ; Satu Telaah Terhadap Pesantren dan Madrasah,
[4] Jonh M.Echols dan hasan Shadily ( 1995 : 372)
[5] Dirjen Dikdasmen. 2001. Masyhuri, Siti Sakdiyah, dkk., 2005. Profil Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam Depag RI.

[6] (Prof. Dr.H.Haidar Putra Daulay, MA.Sejarah pertumbuhan dan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia,Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2009 Hal.94)
[7] ( . Dr.H.Haidar Putra Daulay, Dinamika)
pendidikan Islam di asia tenggara, rineka cipta, Jakarta, 2009 hal21)

[8] Ali alJumbulati, Abdul Futuh at Tuwainis, Perbadingan pendidikan Islam
(tjm.Prof.HM.Arifin,M.Ed)Rineka Cipta,Jakarta 2002 hal.22
[9] Manajemen Berbasis Madrasah. Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam Depag RI.

Tidak ada komentar: